Kumpulan Puisi
MENUNGGU
TELEPON BERDERING
Mukti
Sutarman SP
menunggu
telepon berdering
waktu
ke waktu
angka-angka
di arlojimu bertanggalan
ke
lubuk sunyi hatiku yang rawan
mengapa
tak jua kau putar
nomor
teleponku
padahal
gairah terlanjur begini berdenyar
harap
dan cemas terlanjur begini membakar
empat
empat dua lima empat delapan
putarah
segera
sebelum
udara memepat dan gemetar
cuaca
pelan menghampa
lelampu
taman kehilangan pendar
menunggu
telepon bordering darimu
dan
kabar mawar itu
serasa
kuarungi beribu kali mati
air
yang hijau batin yang kacau
waktu
ke waktu, Cuma berkecipak
mengambang
tak
hanyut
tak
tenggelam
tak
sampai
ke
kuala.
2006
NYANYIAN GERIMIS
SONI FARID MAULANA
Telah kutulis jejak hujan
Pada rambut dan kulitmu yang basah. Kuntum
Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu
Dipetik hangat percakapan juga gerak sukma
Yang saling memahami gairah terpendam
Dialirkan sungai ke muara
Sesaat kita larut dalam
keheningan
Cinta membuat
kita betah hidup di bumi
Ekor cahaya berpantulan dalam matamu
Seperti lengkung pelangi
Sehabis hujan
menyentuh telaga
Inikah musim semi yang
sarat nyanyian
Juga tarian burung-burung itu?
Kerinduan bagai awah gunung berapi
Sarat letupan.
Lalu desah nafasmu
Adalah puisi adalah
gelombang lautan
Yang menghapus
jejak hujan
Di pantai hatiku. Begitulah jejak hujan
Pada kulit dan rambutmu
Menghapus
jarak dan bahasa
Antara
kita berdua
1988
LOGIKA
DAUN CEMARA
Syilfi Purnama Sari
hujan ini daun cemara
diterpa angin
dan debu-debu. satu demi
satu gugur
ke tanh tempat
akar-akarnya terkubur
melupakan matahari dan
deru angin
hidup adalah sepucuk
dan cemara
emuja langit. wajahnya
pucat
menibun jiwa-jiwa lara
disemaian petak-petak
syhadat
lembar demi lembar
mengering
melayang-layang
dihempas angin
tak paham lagi harus ke
mana menyangkutkannya
karena hujan telah
menyuburkan daun-daun lain
dari anak-anak api
mernggaskan ranting ranting
pada logika daun cemara
bergantung perasaan malam
terjebak keharusan dan
arah seragam
lembar yang satu gelisah
karena lembar yang lain
berwarna merah. lembar
yang satu gerah
karena lembar yang lain
berlawanan arah
kemudian terbangun
cabang-cabang liar
bendera-bendera
berkibar pada pohonnya
dan tanah basah oleh
sia-sia darah
Bandung 2000
KAU, MENCATAT DENGAN PUISI
Sosiawan Leak
apakah yang bisa kau catat dengan puisi?
tuhan? uang? kehormatan dan kebebasan?
atau harapan juga impian yang pelan kian hilang
dari kenyataan?
sedang kesederhanaan yang kau idamkan
loyo dan terbelah oleh kedigdayaan masa
atau flu burung yang menggejala
memanah statistik angka-angka
dan pernyataan pejabat negara
yang diuntal iklan di media?
apakah yang bisa kau catat dengan puisi?
sedang undang-undang lebih berpesta
dengan kedangkalan kata-kata
akal budi menemukan penjara dunia
dan cuma pentas hidup di nirwana.
surga
; kata-kata tatkala kita ibadah dan berdoa
demi hati, demi inti
bukan demi kehidupan semena
bukan demi tuhan, keyakinan atau cinta
telah musna begitu kita menghitung
harganya di kepala
dan kau, memilih bisu
saat berhadapan dengan segala
ragu!
PELURU
KATA-KATA
Aku punya sebuah pistol berpeluru kata.
Kawan, dengarlah bunyi tembakannya:
Presiden yang bersenyawa dengan tiran,
bukan presiden, tapi preman!
Pejabat yang korupsi duit rakyat,
bukan pejabat, tapi penjahat!
Aparat yang suka memopor rakyat yang sekarat,
bukan aparat, tapi keparat!
Pemuka agama yang tak menghargai perbedaan agama,
bukan pemuka agama, tapi pemuka angkara!
Cendikiawan yang memakai kepintaran untuk penipuan,
bukan cendikiawan, tapi dustawan!
Negara yang memasung hak asasi manusia,
bukan negara, tapi neraka!
Bangsa yang melupakan hikayat,
bukan bangsa, tapi bangsat!
Peraturan yang hanya berpihak pada kekuasaan,
bukan peraturan, tapi pemaksaan!
Koran yang tak memijak kebenaran,
bukan koran, tapi kotoran!
Seniman yang tak peduli akan lingkungannya sendiri,
Bukan seniman, tapi onaniwan seni!
Yogyakarta, 2010
TENTANG
PAHLAWAN
Joko Sutrisno Supardjan
aku percaya,
orang-orang dulu yang berjuang demi pertiwi tercinta,
tidak pernah berpikir diri dan jasanya kan dikenang
semisal digelari pahlawan,
dimonumenkan, dijadikan nama jalan,
atau fotonya nampang jadi folkground di lembaran uang
ikhlas jiwa raga meretas merdeka
tulus darah menebus tanah
namun entah kini,
dengan orang-orang pemberani
yang ramai-ramai berebut jatah orang suci.
bergantian pasang sayap bak bidadari.
tampil memukau layaknya si baik hati
benarkah meretas upaya melibas durjana
demi lapar yang mencakar-cakar para duafa
atau sekedar untuk cari tenar semata....
Kudus 2010
KORENG
SEORANG BAWAHAN
Sandra
Palupi
Pada
kalbu yang lelah mencari nyala untuk mengikat lesu,
seorang
di bangku atas mulai mencabik lukamu pagipagi,
esok
giliran kawanmu yang kuyu. Siap berbaris.
Suaranya
riuh menyumpal telinga yang mulai bernanah
hampir
di setiap dentuman dua per tiga harimu. Tak jarang dari kerongkonganya
menyembur
keluar segala sampah berbau busuk siap dikerubungi lalat hijau kemayu.
Kau benci
pada baunya yang setiap saat suntiksuntik bawah sadarmu yang mulai memuncak.
Tak
sanggup terkunyah dalam keringat hambar tak berbuih.
Ada
saatnya. Kawankawanan mabuk saling muntahkan segala kotoran
dari
parit kemelaratan yang tersimpan membusuk, jatuh dalam pelukan ketakberdayaan,
lalu
digiling lagi jadi makanan sebagai santap makan malam di pesta penuh luka.
Ada
kalanya. Sisanya kau bawa pulang dan kau
bagi bersama anak istri bermata sayu.
Kau
bawa berlembar kertas pengharapan yang lusuh lembab oleh dinginnya kabut malam
yang
titik airnya telah ditujukan bagimu.
Oh
tidak,
Tak
mampu kau lawan itu, karna lidah ya akan segera menjulurkan api pemecatan
bagi
siapapun yang berani berpaling. Berkalikali lagi, kau terseret arusnya.
Dalam
kepalan tangannya, hatimu mendesah kelu,
“Ah,
nasibku, terpaksa aku titipkan...”
2004