Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Resume Novel


Resume Tanah Gersang (Mochtar Lubis; novel, 1966)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5yWgADqh2179d5BVsKqURQ_ShqLstC-dT7v0_wwJGNph_CnuWGIE1xyh3rcj6_CV_rJHibQJq-G5Q2mmMn1Yiuh3eNa9_-5J01DGCEjzkci728U8wegIRa7dEpNBugHwyaWXjIrglOL4/s320/9535712.jpg
Judul: Tanah Gersang
Pengarang: Mochtar Lubis
Tahun: 1966

Joni, Yusuf, dan Sukandar. Tiga pemuda berbeda latar belakang. Joni berasal dari keluarga berada, yang menggampangkan uang sebagai segala-galanya, dan menurut ayahnya yang seorang anggota dewan, segala sesuatu hanya dapat diselesaikan dengan keberadaan uang. Yusuf merupakan anak angkat pamannya, seorang nelayan dan istrinya yang menikmati cinta dengan lelaki lain di rumahnya, sebagaimana istri-istri orang nelayan lain. Dan anehnya, suami-istri itu sangat pengertian, membiarkan keduanya mencari cinta dengan orang lain. Yusuf-pun tidak menganggap aneh hal itu, bahkan membiarkan Joni temannya memasuki kamar bibinya itu. Lain dengan Sukandar. Sebagai pelarian dari panti asuhan, ia telah mencicipi perempuan sejak usia muda ketika ia bekerja di suatu rumah bordil. Bersama Yusuf dan Sukandar, mereka menjadi tukang catut di gedung bioskop, yang mempertemukan mereka dengan Joni.
Mereka adalah contoh dari kenakalan remaja yang sempat mewarnai jalanan Jakarta di tahun 50an. Joni sebagai ketua mereka mengomandoi mereka untuk merampok toko emas, beserta tindak kejahatan lainnya yang berujung pada pembunuhan. Suatu tindakan yang di luar batas.
Akhirnya 'Tanah Gersang' berfokus pada Joni. Ia yang kecewa karena Lisa-bintang film pada masa itu yang sangat mudah mempermainkan cinta lelaki dan mengambil banyak keuntungan darinya-beralih untuk berhubungan dengan Dewi, adik Lisa. Joni-Dewi bahkan kawin lari ke Sumatra, yang akhirnya disetujui oleh kedua pihak keluarga. Namun Joni telah mendapat kabar : seorang bernama S dan Y ditangkap karena suatu pembunuhan. Pada saat itulah Joni membatin, meniatkan diri untuk melaksanakan niatan yang telah lama dirindukannya : mati muda. Dan ketika mendung dan ombak bergejolak di suatu danau, tempat dimana Joni tengah menunggang motor air, Joni tenggelam. Dewi-pun menangisi kepergian Joni yang mati secara tragis itu, dan pada dirinya ia merasakan sesuatu. Benih baru telah mendukung dirinya, jauh dalam rahim.
Joni, merupakan tokoh utama dalam novel ini mengalami pergulatan spiritual yang pelik, dari mulai masa kecilnya yang suka membunuh binatang, melihat darah-darah mengalir, ketika menjelang dewasa ia juga mengaktualisasikan seluruh hasrat dirinya pada berbagai hal. Pertemanan, perampokan, pembunuhan, dan percintaannya semua berpusar pada diri Joni yang terus menerus gelisah, terus menerus mencari sumber gejolak, dimana dirinya akan mendapati seluruh potensi hidupnya tercurah. Ia merupakan cerminan manusia yang tampak kuat dari luar, namun sebenarnya menyimpan sebongkah luka di dalam dirinya. luka yang terus menerus menggerogoti hidupnya, membentuk sebuah lubang di tanah gersang.


"Tanah Gersang" sebenarnya tidak terlalu berat, bahkan di banyak percakapan, Mochtar Lubis menyisipkan dialog-dialog bahasa "gaul" para pemuda, disertai tren-tren dan lagak para remaja di masa itu yang kebanyakan meniru aksi koboi di layar putih. Hanya saja, "Tanah Gersang" cocok dibaca para orang tua agar menjadi pelajaran, bagaimana semestinya mendidik para generasi muda. Hal itu dikarenakan Joni, Yusuf, dan Sukandar, dan mungkin banyak generasi muda lainnya, bertemu dan menjalani apa yang disebut sebagai perubahan nilai-nilai moral di masyarakat. Mereka tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk di usia mereka.
Tanah Gersang memiliki alur yang biasa saja, ketegangan yang biasa saja, penokohan yang juga biasa saja. hanya saja dalam buku ini, saya bisa menemukan konsistensi penokohan yang sangat apik. Diceritakan melalui 'tiga bab hidup' dengan sangat sederhana tapi tetap tidak kehilangan pesona. Yang paling menarik dalam buku ini adalah pergulatan hidup para tokohnya, dituturkan dengan amat sederhana, begitu jujur dan apa adanya. Buku ini adalah potret masyarakat urban pada zamannya.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KUMPULAN CERPEN





LAKI-LAKI SEJATI
Cerpen Putu Wijaya



Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?

Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.

Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.

Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.

Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.

Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?

Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?

Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.

Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.

Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.

Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.

Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!

Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?

Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati!
Kalau begitu apa dong?

Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.

Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.

Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?

Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?

Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.

Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?

Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.

Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!

Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.

Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.

Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?

Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!

Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.

Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati! ***

Denpasar, akhir 2004


Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata
Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 17 Juli 2011)
 (Buat GM)


AKU menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.
“Mencari bunga untuk apa Pak?”
Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu.
“Bunga untuk ulang tahun.”
“Yang harganya sekitar berapa Pak?”
“Harga tak jadi soal.”
“Bagaimana kalau ini?”
Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.
“Itu?”
Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.
“Itu saya sendiri yang merangkainya.”
Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.
“Ya, ini yang aku cari.’
Dia mengangguk senang.
“Mau diantar atau dibawa sendiri?”
“Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”
Ia kelihatan bimbang.
“Berapa duit.”
“Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”
“Tidak, aku mau ini.”
“Bagaimana kalau itu?”
Ia menunjuk ke bunga lain.
“Tidak. Ini!”
“Tapi itu tak dijual.”
“Kenapa?”
“Karena dibuat bukan untuk dijual.”
Aku ketawa.
“Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.
“Dua.”
“Dua apa?”
“Dua juta.”
Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.
“Jadi, benar-benar tidak dijual?”
“Tidak.”
Aku padangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang lain.
“Bagaimana kalau itu?”
Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.
Dia tercengang.
“Bapak mau beli?”
“Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.”
Dia berpikir. Setelah itu menyerah.
“Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”
Aku terpesona tak percaya.
“Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”
“Duapuluh ribu cukup.”
“Rumah Bapak di mana?”
“Cirendeu.”
“Cirendeu kan jauh?”
“Memang, tapi dilewati angkot.”
“Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”
“Habis, naik apa lagi?”
“Tapi angkot?”
“Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”
“Bukan begitu.”
“O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”
“Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”
“Ya, hitung-hitung olahraga.”
Dia menatap tajam.
“Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”
Aku tercengang.
“Kurang?”
“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.”
Dia tersenyum. Cantik sekali.
“Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”
“Tidak.”
Dia berpikir.
“Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada seseorang.”
“Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”
“Yang dicintai mestinya.”
“Ya. Jelas!”
“Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku terpesona lalu mengangguk.
“Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”
Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.
“Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”
“Tidak. Kamu.”
Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.
“Kamu saja yang memilih.”
“Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”
“Pokoknya yang bagus. Yang positip.”
“Cinta, persahabatan, atau sayang?”
“Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:
“Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”
Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.
“Bagus?”
Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.
“Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”
“Ya?”
“Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”
Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.
“Kamu saja yang tanda tangan.”
“Kenapa saya?”
“Kan kamu yang tadi menulis.”
“Tapi itu untuk Bapak.”
“Ya memang.”
Ia bingung.
“Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”
“Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”
“Makanya!”
Ia kembali bingung.
“Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”
Dia bengong.
“Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”
“Jadi, bunga ini untuk Bapak?”
“Ya.”
“Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”
“Ya. Apa salahnya?”
“Bapak yang ulang tahun?”
“Ya.”
Dia menatapku tak percaya.
“Kenapa?”
“Mestinya mereka yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”
“Mereka siapa?”
“Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”
“Mereka terlalu sibuk.”
“Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”
“Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”
Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.
“Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”
Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.
Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.
“Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.”
“Kenapa? Kan sudah aku beli?”
Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.
“Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”
Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.
“Aku pemilik toko ini.”
Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah. (*)
.
.
Jakarta, 30 Juni 2011

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ANALISIS PUISI


ANALISIS PUISI “NYANYIAN GERIMIS” KARYA SONI FARID MAULANA
NYANYIAN GERIMIS
SONI FARID MAULANA

Telah kutulis jejak hujan
Pada rambut dan kulitmu yang basah. Kuntum
Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu
Dipetik hangat percakapan juga gerak sukma
Yang saling memahami gairah terpendam
Dialirkan sungai ke muara

            Sesaat kita larut dalam keheningan
                        Cinta membuat kita betah hidup di bumi
Ekor cahaya berpantulan dalam matamu
            Seperti lengkung pelangi
                        Sehabis hujan menyentuh telaga

            Inikah musim semi yang sarat nyanyian
Juga tarian burung-burung itu?
               Kerinduan bagai awah gunung berapi
                        Sarat letupan. Lalu desah nafasmu
            Adalah puisi adalah gelombang lautan
                        Yang menghapus jejak hujan
Di pantai hatiku. Begitulah jejak hujan
            Pada kulit dan rambutmu
                        Menghapus jarak dan bahasa
                                    Antara kita berdua
                                                                                                1988

A.       Unsur Fisik Puisi
1.      Tipografi
Tipografi adalah susunan baris-baris atau bait-bait suatu puisi. Tipografi dijadikan sarana ekspresi oleh penyair. Dalam susunan-susunan baris, pengarang menyematkan makna atau perasaan. Jadi, tipografi juga turut mewakili perasaan penyair.
a.       Pada baris kedua terdapat tanda titik dan dilanjutkan dengan kata Kuntum yang diawali dengan huruf kapital tetapi sendiri, tidak diikuti kata lain, menggambarkan bahwa seseorang yang sendiri dan merasa sangat kesepian. Pada baris selanjutnya dapat kita maknai bahwa orang yang sendiri tersebut ternyata sedang dilanda rasa rindu.
Telah kutulis jejak hujan
Pada rambut dan kulitmu yang basah. Kuntum
Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu
b.      Pada bait ke dua dan bait ke tiga, susunan tidak beraturan tetapi terkesan indah. Hal ini menggambarkan makna tersurat dalam kata lengkung pelangi pada bait kedua. Pada bait ketiga ketidakberaturan ini mewakili tarian burung-burung dan juga awah gunung berapi serta gelombang lautan. Jika kita amati, bentuk dari tarian dan juga gelombang laut adalah tidak beraturan tetapi indah.
Bait 2:
Sesaat kita larut dalam keheningan
      Cinta membuat kita betah hidup di bumi
Ekor cahaya berpantulan dalam matamu
Seperti lengkung pelangi
Sehabis hujan menyentuh telaga
Bait 3:
               Inikah musim semi yang sarat nyanyian
Juga tarian burung-burung itu?
Kerinduan bagai awah gunung berapi
                           Sarat letupan. Lalu desah nafasmu
               Adalah puisi adalah gelombang lautan
                           Yang menghapus jejak hujan
Di pantai hatiku. Begitulah jejak hujan
Pada kulit dan rambutmu
                           Menghapus jarak dan bahasa
                                       Antara kita berdua
2.      Enjambemen
Enjambemen adalah perubahan struktur kalimat dalam sajak untuk mencapai efek tertentu. Pada puisi Nyanyian Gerimis terdapat enjambemen:
Telah kutulis jejak hujan
Pada rambut dan kulitmu yang basah. Kuntum
Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu
Kata Kuntum seharusnya terletak pada baris berikutnya jika kita mengikuti kaidah struktur ketatabahasaan. Tetapi, penyaor mempunyai maksud yang ingin disampaikan, yaitu Kuntum yang berarti seorang yang sendiri dan merasa sepi. Jika kata Kuntum tersebut terletak pada baris berikutnya, maka kata tersebut tidak akan mempunyai makna sebagai seseorang.
Pada bait ketiga juga terdapat enjambemen
Menghapus jarak dan bahasa
          Antara kita berdua
Ada makna yang ditonjolakan yaitu pemisahan kalimat Antara kita berdua yang akan menciptakan makna sendiri, yaitu hanya kita berdua tanpa ada yang lain.
3.      Pengimajian (citraan)
Pengimajian merupakan suatu bentuk usaha menjadikan sesuatu yang dulunya abstrak menjadi sesuatu yang konkret sehingga pancaindera dapat dengan mudah memahami makna yang hendak disampaikan.
a.       Penglihatan, seolah kita dapat melihatnya dengan nyata.
Ekor cahaya berpantulan dalam matamu
     Seperti lengkung pelangi
b.      Perasaan, seolah kita dapat merasakan.
Yang saling memahami gairah terpendam
Dialirkan sungai ke muara
c.       Pendengaran, seolah kita dapat mendengarkan.
Sarat letupan. Lalu desah nafasmu


4.      Diksi
Diksi adalah pemilihan kata oleh penyair. Karena puisi bersifat pemadatan, maka pilihan kata harus sesuai dan menimbulkan suatu yang estetis. Pemilihan kata juga harus mewakili makna yang akan disampaikan. Dalam menciptakan karyanya, penyair seringkali memasukkan kata-kata yang sulit kita telaah dan kita mengerti maksudnya. Dalam puisi Nyanyian Gerimis terdapat kata Ekor cahaya yang maknanya kilatan cahaya, berpantulan yang bermakna pancaran mata yang berbinar-binar, juga terdapat kata tarian burung-burungdan Di pantai hatiku yang terkesan indah dan penuh makna.
5.      Majas
Majas adalah penggunaan kata-kata untuk mencapai efek tertentu. Dalam puisi Nyanyian Burung terdapat majas sebagai berikut:
a.       Majas personifikasi, majas yang menggambarkan benda mati seolah-olah dapat hidup.
Dipetik hangat percakapan juga gerak sukma
b.      Majas metafora
Ekor cahaya berpantulan dalam matamu
c.       Majas simile
Seperti lengkung pelangi
Kerinduan bagai awah gunung berapi
6.      Kata Konkret
Kata konkret adalah kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini dapat berhubungan dengan kiasan atau lambang. Dalam puisi Nyanyian Gerimis terdapat kata konkret diantaranya:
a.       Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu, yang maknanya adalah seorang yang sangat kesepian.
b.      Dipetik hangat percakapan juga gerak sukma, yang maknanya adalah rindu akan seseorang untuk sekadar menghilangkan rasa kesepiannya.
c.       Yang saling memahami gairah terpendam, yang maknanya adalah saling merasa rindu, walaupun tidak bertemu cukup seolah bertemu dalam angan.
d.      Ekor cahaya berpantulan dalam matamu, yang maknanya adalah mata seorang yang dirindukan hadir dan tampak berbinar-binar bahagia.
e.       Kerinduan bagai awah gunung berapi, yang maknanya adalah sangat rindu meluap-luap tak terbendung.
7.      Rima dan Irama
Rima adalah persamaan bunyi pada puisi. Sedangkan Irama berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat atau lagu kalimat. Pada puisi Nyanyian Gerimis, rima dan irama tidak terlalu menonjol, karena pada puisi ini aspek isilah yang lebih ditonjolkan.
Bait 1(a-u-u-u-a-a-a)
Telah kutulis jejak hujan (a)
Pada rambut dan kulitmu yang basah. Kuntum (u)
Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu (u)
Dipetik hangat percakapan juga gerak sukma (a)
Yang saling memahami gairah terpendam (a)
Dialirkan sungai ke muara (a)
Bait 2 (a-i-u-i-a)
Sesaat kita larut dalam keheningan (a)
      Cinta membuat kita betah hidup di bumi (i)
Ekor cahaya berpantulan dalam matamu (u)
Seperti lengkung pelangi (i)
Sehabis hujan menyentuh telaga (a)
Bait 3 (a-u-i-u-a-a-a-u-u-a)
Inikah musim semi yang sarat nyanyian (a)
Juga tarian burung-burung itu? (u)
Kerinduan bagai awah gunung berapi (i)
                           Sarat letupan. Lalu desah nafasmu (u)
               Adalah puisi adalah gelombang lautan (a)
                           Yang menghapus jejak hujan (a)
Di pantai hatiku. Begitulah jejak hujan (a)
Pada kulit dan rambutmu (u)
                           Menghapus jarak dan bahasa (u)

                                               Antara kita berdua (a)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS