LAKI-LAKI SEJATI
Cerpen
Putu Wijaya
Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?
Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah
menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya
baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing.
Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.
Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil
pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan
cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh,
nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami
dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.
Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.
Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan
ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu
perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun
dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung
menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup
siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak
hanya yang harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu.
Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.
Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau
sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa
ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah
mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari
buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu
akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu
tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya
zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga
sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran
walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?
Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang
meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi
harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?
Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan
antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.
Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi
yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata.
Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti
sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah
kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita
bisa melihat bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus
kita terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana
laki-laki sejati itu.
Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang
berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.
Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak
melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.
Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan
ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong,
karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki
sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat
laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam
kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!
Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki
sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan
laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh
gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa.
Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?
Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang
lelaki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting,
karena bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan
sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi
pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki
sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman,
menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah
hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan
toleransi, selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau
punya karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki
sejati hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau
jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang
pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan
seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki
sejati!
Kalau begitu apa dong?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat,
mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas
dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu
dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup
yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan
perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.
Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh!
Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh
sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia
menikmati lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya
terdengar erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.
Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta
kepadanya dalam penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki
seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu,
Ibu?
Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan.
Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?
Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan
malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi
bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi
tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku
kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan
ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak.
Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk
merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan
merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.
Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama
berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang
tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal
dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?
Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya.
Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak
laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja,
tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku.
Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus
anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah
dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni,
mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi
ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih
merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan
mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada
harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.
Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja.
Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu
itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada
bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk
seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang
diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah
mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara!
Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat
banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil
Gibran!
Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat
hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada
kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.
Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia
terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik
R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.
Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi
itu justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang
indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut
menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi
melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati,
bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?
Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja,
sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya,
bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli
seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai
oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!
Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu
memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang
terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga
sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah
segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.
Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu
anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena
seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia,
setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa
pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun
kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang
laki-laki yang sejati! ***
Denpasar, akhir 2004
Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata
Cerpen
Putu Wijaya (Kompas, 17 Juli 2011)
(Buat
GM)
AKU menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu
jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu
sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara
seorang perempuan menyapa.
“Mencari bunga untuk apa Pak?”
Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25
tahun. Atau mungkin kurang dari itu.
“Bunga untuk ulang tahun.”
“Yang harganya sekitar berapa Pak?”
“Harga tak jadi soal.”
“Bagaimana kalau ini?”
Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.
“Itu?”
Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna
pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik
perhatianku.
“Itu saya sendiri yang merangkainya.”
Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah.
Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.
“Ya, ini yang aku cari.’
Dia mengangguk senang.
“Mau diantar atau dibawa sendiri?”
“Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”
Ia kelihatan bimbang.
“Berapa duit.”
“Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya
bikinkan lagi.”
“Tidak, aku mau ini.”
“Bagaimana kalau itu?”
Ia menunjuk ke bunga lain.
“Tidak. Ini!”
“Tapi itu tak dijual.”
“Kenapa?”
“Karena dibuat bukan untuk dijual.”
Aku ketawa.
“Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.
“Dua.”
“Dua apa?”
“Dua juta.”
Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga
itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.
“Jadi, benar-benar tidak dijual?”
“Tidak.”
Aku padangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk
lagi bunga yang lain.
“Bagaimana kalau itu?”
Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu
memeriksa isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga.
Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.
Dia tercengang.
“Bapak mau beli?”
“Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus
jalan kaki pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu
yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan
kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.”
Dia berpikir. Setelah itu menyerah.
“Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk
pulang?”
Aku terpesona tak percaya.
“Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”
“Duapuluh ribu cukup.”
“Rumah Bapak di mana?”
“Cirendeu.”
“Cirendeu kan jauh?”
“Memang, tapi dilewati angkot.”
“Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”
“Habis, naik apa lagi?”
“Tapi angkot?”
“Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun
naik gerobak.”
“Bukan begitu.”
“O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku
jalan kaki saja.”
“Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”
“Ya, hitung-hitung olahraga.”
Dia menatap tajam.
“Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos
taksi.”
Aku tercengang.
“Kurang?”
“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga
cukup untuk makan double BB di BK PIM.”
Dia tersenyum. Cantik sekali.
“Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”
“Tidak.”
Dia berpikir.
“Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya
rangkai untuk diberikan pada seseorang.”
“Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”
“Yang dicintai mestinya.”
“Ya. Jelas!”
“Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai
untuk diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal.
Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku terpesona lalu mengangguk.
“Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”
Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.
“Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”
“Tidak. Kamu.”
Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah
buku kumpulan sajak. Aku menolak.
“Kamu saja yang memilih.”
“Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”
“Pokoknya yang bagus. Yang positip.”
“Cinta, persahabatan, atau sayang?”
“Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala
isi buku itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak
Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak
Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:
“Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”
Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi
untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.
“Bagus?”
Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan
sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.
“Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”
“Ya?”
“Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”
Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.
“Kamu saja yang tanda tangan.”
“Kenapa saya?”
“Kan kamu yang tadi menulis.”
“Tapi itu untuk Bapak.”
“Ya memang.”
Ia bingung.
“Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”
“Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”
“Makanya!”
Ia kembali bingung.
“Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”
Dia bengong.
“Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”
“Jadi, bunga ini untuk Bapak?”
“Ya.”
“Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”
“Ya. Apa salahnya?”
“Bapak yang ulang tahun?”
“Ya.”
Dia menatapku tak percaya.
“Kenapa?”
“Mestinya mereka yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”
“Mereka siapa?”
“Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak,
atau pacar Bapak…”
“Mereka terlalu sibuk.”
“Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”
“Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri
dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”
Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu
aku ambil bunga itu.
“Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900
ribu.”
Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan
kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah
ulang tahun yang lain dari yang lain.
Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.
“Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil
meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.”
“Kenapa? Kan sudah aku beli?”
Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.
“Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau
ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”
Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan
toko.
“Aku pemilik toko ini.”
Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah. (*)
.
.
Jakarta, 30 Juni 2011